Tuesday, May 23, 2006

MASJID CIPARI, MIRIP GEREJA BERLANGGAM "ART DECO"

oleh Bambang Setia Budi


SIAPA bakal menyangka bangunan ini adalah masjid. Tanpa menyelidikinya lebih jauh, penampilannya akan membuat kita langsung bisa mengira bahwa bangunan ini adalah gereja. Apalagi ditambah dengan langgam art deco yang dimilikinya, penampilan masjid ini menjadi sungguh istimewa.

INILAH sebuah masjid bersejarah di kawasan pesantren kuno di Desa Cipari, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut. Masjid dan pesantren yang dapat dimasuki dari jalan utama desa ini juga diberi nama sesuai dengan nama desanya, Cipari. Meskipun letaknya agak terpencil, masjid dan pesantren itu kini cukup terkenal di Kota Garut.

Yang membuat Masjid Cipari sangat mirip dengan gereja adalah selain bentuk massa bangunannya yang memanjang dengan pintu utama persis di tengah-tengah tampak muka bangunan, juga keberadaan menaranya yang terletak di ujung bangunan persis di atas pintu utama. Posisi menara dan pintu utama telah menjadikan bangunan ini tampil tepat simetris dari tampak luar. Dari bentuk dan posisi menara dan pintu utama tersebut, bangunan ini jelas mengingatkan kita pada bentuk bangunan-bangunan gereja.











Mirip Gereja
- Dengan bentuk bangunan memanjang, adanya menara di salah satu ujung bangunan dan pintu masuk utama di tengah-tengah fasade simetris, mengingatkan pada tipologi gereja kolonial. (Fotografer: Priyatna DP).




Jika kita memasuki bangunannya, yang memberi penanda bahwa bangunan ini masjid hanyalah keberadaan ruang mihrab berupa penampil yang menempel di dinding arah kiblat. Sementara, ruang shalatnya pun lebih mirip ruang kelas yang dapat dimasuki dari pintu di sebelah utara dan selatan atau dari pintu timur yang terletak di antara ruang naik tangga.

Boleh jadi, inilah salah satu masjid yang mempunyai bentuk paling lain dari yang lain di Indonesia. Bangunan masjid ini bagaimanapun jelas telah memberi dan menambah khazanah keragaman arsitektur masjid di negeri kita. Mungkin dari seluruh wilayah di Indonesia hanya Masjid Cipari dan Masjid Somobito di Mojowarno, Mojokerto, Jawa Timur, yang juga memiliki bentuk mirip gereja seperti ini.

Bedanya, di tempat Masjid Somobito berada, mayoritas penduduknya beragama Kristen, tetapi Masjid Cipari ini berada di tengah-tengah pesantren kuno yang telah berdiri sejak tahun 1933 dan penduduk desa hampir seluruhnya umat Islam sejak masjid didirikan.

***

YANG juga menjadikan Masjid Cipari istimewa adalah adanya langgam art deco pada bangunan. Sejauh ini hampir tidak pernah dijumpai masjid kuno yang menggunakan langgam seperti itu di seluruh wilayah di Indonesia. Selain itu, langgam art deco ini berada pada bangunan di pelosok desa Cipari, Garut, ini.

Lain halnya bila langgam seperti ini marak di kota-kota di Jawa, seperti Surabaya, Semarang, dan terutama Bandung. Bahkan Kota Bandung sempat dijuluki sebagai surga bangunan bergaya art deco.

Memang, apabila kita berjalan ke berbagai daerah hingga ke pelosok wilayah negeri, sebenarnya kita akan menjumpai banyak hal baru dan menarik yang masih dapat disaksikan dari sisa obyek peninggalan masa lalu, termasuk arsitektur yang anggun dan mengesankan. Kita dan masyarakat secara umum sering kurang mengetahui adanya warisan peninggalan budaya yang unik tersebut. Hal ini disebabkan minimnya proyek pendokumentasian, selain kurangnya informasi dan publikasi yang berkaitan dengan obyek warisan budaya menarik tersebut.










Langgam Art Deco
– Langgam ini tampak pada pengolahan fasade masjid. Pola-pola dekorasi geometrik memperkuat pemakaian langgam ini. (Fotografer: Priyatna DP).


Sejarawan arsitektur John Nankivell saat berkunjung ke Kota Gede, Lawang, Malang, dan Pasuruan di Jawa Timur, sempat terbelalak menikmati pesona arsitektur yang langka. Ini karena adanya berbagai gaya atau langgam seni arsitektur Barat atau Eropa yang justru banyak ditemui di kota-kota pedalaman, seperti Lawang dan Kota Gede tersebut. Yang paling menarik adalah temuan bangunan yang juga berhiaskan elemen-elemen art nouveau dan art deco.

Langgam art deco sering disebut sebagai "Style Moderne" yang merupakan gaya desain yang populer selama kurun waktu tahun 1920-an hingga 1930-an. Karena merupakan langgam seni rupa yang pernah melanda dunia di tahun 1920-an, maka art deco sering kali juga disebut The Decorative Twenties (John Nankivell, Art Nouveau and Art Deco in Java, 1977).

Pada Masjid Cipari, langgam art deco sebagaimana dicirikan dengan bentuk geometris, terlihat jelas pada pengolahan fasadnya. Pola-pola dekorasi geometris yang berulang di atas material batu kali memperlihatkan dengan jelas langgam ini. Selain itu, garis horizontal yang halus pada sisi samping kanan maupun kiri juga mencirikan langgam yang sama. Bentuk menara dan atapnya yang menyerupai kubah dengan beberapa elemen dekorasi pada bagian samping maupun puncaknya juga mengingatkan pada langgam ini.

Menara masjid berketinggian lebih kurang 20 meter ini menarik perhatian setiap pengamat, bahkan seperti menjadi eye catcher pada bangunan masjid. Mungkin sekadar simbol untuk menandai bahwa bangunan ini bukan gereja melainkan masjid, maka diletakkanlah bulan sabit di ujung menara. Terdapat beberapa lantai pada interiornya, dengan lantai teratas merupakan ruangan sempit berlantai pelat baja yang dikelilingi semacam balkon kecil yang juga dari pelat baja.

Aspek menarik lain pada penampilan luarnya adalah bukaan-bukaan masjid yang tidak diolah sebagaimana pintu masuk masjid pada umumnya. Selain tata letak pintu masuk utama yang mengingatkan pada bangunan gereja kolonial tersebut adalah komposisi pintu dan jendela di sisi samping bangunan yang lebih terlihat seperti pintu masuk dan jendela-jendela ruang kelas/sekolah atau bangunan kantor pada masa kolonial.










Bangunan Memanjang
- Bangunan masjid memanjang dari Barat ke Timur. Dari samping, terlihat lebih mirip bangunan sekolah atau kantor jika diamati komposisi bukaan-bukaannya. (Fotografer: Priyatna DP).



***

SEJARAH bangunan masjid yang konon biaya pembangunannya berasal dari gotong royong keluarga pesantren, santri, dan masyarakat tersebut juga menjadi aspek menarik tersendiri. Masjid ini sebenarnya telah berdiri sejak tahun 1895, tetapi dalam kondisi masih sangat sederhana. Sejak awalnya masjid ini telah berada di dalam kompleks pesantren dan dikelilingi hanya sekitar 20 rumah penduduk.

Lalu pada tahun 1933, KH Harmaen sebagai pendiri pesantren meninggal dunia dan kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh KH Yusuf Tauziri. Saat dipimpin KH Yusuf Tauziri, masjid dibangun dan diperluas seiring dengan kemajuan pesat yang dialami pesantren. Bentuk masjid yang dibangun pada saat itulah sebagaimana apa yang bisa kita lihat sekarang. Pembangunannya selesai pada tahun 1935 dengan luas bangunan lebih kurang 75 x 30 meter.

Sebagai catatan, kemajuan pesantren saat itu juga ditunjang oleh dihapuskannya ordonansi sekolah luar oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 13 Februari 1932 akibat penentangan berbagai organisasi nasional dan Islam, seperti Budi Utomo, Muhammadiyah, PNI, PSII, dan lain-lain. Perluasan masjid ini memiliki kaitan erat dengan situasi pergerakan nasional tersebut karena pimpinan pesantren kebetulan juga seorang ketua PSII cabang Wanaraja.

Meski arsitek bangunan masjid hingga saat ini belum dapat diketahui secara pasti, masjid dan pesantren ini jelas memiliki peran dalam perjuangan rakyat Indonesia pada masa kemerdekaan. Para santri selain belajar ilmu agama juga dididik sebagai pejuang. Ini tak lepas dari keberadaan masjid dan pesantren sebagai salah satu pesantren dari organisasi perjuangan Syarikat Islam.

Bahkan, masjid juga telah menjadi saksi sejarah di masa kemerdekaan, di mana ia pernah menjadi tempat pengungsian rakyat sekitarnya ketika perang kemerdekaan. Bahkan, menurut cerita setempat, pernah diserbu oleh pasukan DI/TII sebanyak 52 kali. Namun, barangkali karena tebal dindingnya yang lebih dari 40 sentimeter, masjid hingga kini masih tegak berdiri dengan kokoh.

****

Penulis adalah Staf Departemen Arsitektur ITB

published @Kompas Minggu 09 November 2003

MASJID MENARA KUDUS KESINAMBUNGAN ARSITEKTUR JAWA-HINDU DAN ISLAM

Oleh: Bambang Setia Budi


SEBAGAI salah satu tempat awal penyebaran Islam di Pulau Jawa, Kota Kudus banyak menyimpan peninggalan sejarah Islam. Salah satu yang terpenting adalah Masjid Menara Kudus yang terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Masjid tersebut telah menjadi salah satu tempat bersejarah yang penting bagi umat Islam di Jawa.

MASJID yang menurut sejarah didirikan pada tahun 956 Hijriah atau 1549 Masehi ini memiliki nama asli Masjid Al-Aqsa. Konon, Ja’far Sodiq atau yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kudus pernah membawa kenangan berupa sebuah batu dari Baitul Maqdis di Palestina untuk batu pertama pendirian masjid yang diberi nama masjid Al-Aqsa. Masjid tersebut kemudian lebih populer dengan sebutan masjid Menara Kudus, merujuk pada menara candi di sisi timur bangunan utama.

Yang paling monumental dari bangunan masjid ini adalah menara berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit, bukan pada ukurannya yang besar saja, tetapi juga keunikan bentuknya yang tak mudah terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui kemiripannya dengan berbagai menara masjid di seluruh dunia.

Keberadaannya yang tanpa-padanan karena bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk sebuah menara masjid itulah yang menjadikannya begitu mempesona. Dengan demikian bisa disebut menara masjid ini mendekati kualitas genius locy.



Bercorak Candi – Menara Masjid Kudus merupakan bangunan menara masjid paling unik di Kota Kudus karena bercorak Candi Hindu Majapahit. (Fotografer: Indra Yudha).



Bangunan menara berketinggian 18 meter dan berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian dasar ini secara kuat memperlihatkan sistem, bentuk, dan elemen bangunan Jawa-Hindu. Hal ini bisa dilihat dari kaki dan badan menara yang dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi.

Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.

***

GH Pijper dalam The Minaret in Java (India Antiqua, Leiden, 1947) mengaitkan struktur bangunan Hindu Jawa pada menara tersebut, sebagaimana pernah diungkap sarjana JFG Brumund pada tahun 1868. Dikemukakan pula bahwa menara itu mengingatkan pada menara kul-kul di Bali. Adanya kesamaan dengan menara kul-kul Bali ini kembali ditegaskan AJ Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesia Art (1953).

Hampir semua pakar dan peneliti dari dalam negeri juga sepakat menara ini jelas bercorak bangunan candi atau menara kul-kul Bali. Ada yang menghubungkan bentuk menara itu dengan Candi Jago, terutama jika dilihat dari arsitektur dan kesamaan ragam hias tumpalnya seperti yang dilakukan Sutjipto Wijosuparto (1961). Ada pula yang menyamakannya dengan candi di Jawa Timur oleh Soekmono (1973), Candi Singosari oleh Syafwandi (1985), atau kul-kul Bali oleh Parmono Atmadi (1987).

Namun, Pijper mengungkapkan menara Masjid Kudus awalnya bukanlah asli milik masjid, melainkan bentuk bangunan candi dari zaman Jawa-Hindu yang digunakan dan disesuaikan kegunaannya sebagai tempat azan.

Lain halnya dengan ahli purbakala NJ Krom yang menyebutkan menara Masjid Kudus bukanlah bangunan Candi Jawa-Hindu. Menurut dia, bangunan itu memang memiliki corak candi, tetapi ia dibangun pada masa Islam dan sengaja diperuntukkan sebagai menara azan. Mungkin saja menara dibangun para tukang dan ahli bangunan Hindu sehingga bentuk bangunannya dipengaruhi secara kuat corak arsitektur Hindu (Krom, 1923: 294-295).

Pendapat Krom ini boleh jadi ada benarnya jika diamati detail ornamen bangunan menara yang hampir tidak ditemukan ragam hias berupa makhluk hidup. Artinya boleh jadi bangunan itu sudah disesuaikan dengan agama Islam yang cenderung menghindari adanya penggambaran makhluk hidup. Jika menara itu dibangun jauh sebelum masa Islam/sebelum masjid dibangun, tentu lebih logis jika ragam hias makhluk hidup bisa dengan mudah ditemukan seperti pada gapura Masjid Sendang Duwur di Jawa Timur.











Detail Menara
– Permukaan bidang menara yang tampak menjadi seni tersendiri dari penataan susunan material bata ekspos. (Fotografer: Indra Yudha)



Usia menara juga merupakan keunikan tersendiri, seperti diungkapkan Pijper bahwa Menara Kudus merupakan menara masjid tertua di Jawa. Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada yang dapat memberi keterangan kapan waktu dibangunnya secara jelas.

Jika didasarkan inskripsi berbentuk Candrasengkala dalam tulisan Jawa di sebuah balok bagian atap menara yang berbunyi "Gapura rusak ewahing jagad", arkeolog Soetjipto Wirjosuparto membacanya sebagai tahun Jawa 1 (jagad), 6 (ewah), 0 (rusak), 9 (gapura), maka berbunyi 1609 tahun Jawa atau 1685 Masehi.

Wirjosuparto memperkirakan, menara masjid dibangun sebelum tahun 1685 karena keterangan ini menunjukkan rusaknya atap menara yang kemudian diperbaiki dan diperingati dengan inskripsi tersebut. Sementara AJ Bernet Kempers memperkirakan bangunan menara dibangun sekitar awal abad ke-16 tetapi diletakkan dalam tanda kurung yang dibubuhi tanda tanya. Karena tahun itu hanya merupakan perkiraan yang didasarkan atas petunjuk sejarah politik.

***

SELAIN menara, masih banyak elemen unik lainnya yang bisa ditemukan pada kompleks masjid dan makam ini. Jika ditelusuri, terdapat banyak elemen bangunan yang berulang di berbagai tempat. Itulah gerbang yang bentuknya juga menunjukkan kaitan sangat kuat dengan seni bangunan zaman pra-Islam. Gerbang-gerbang itu menandai dan memberi batas makna ruang profan dan sakral. Komposisi tata letaknya sungguh memberikan urutan sangat menarik.

Ada dua jenis gapura di kompleks ini, yakni Kori Agung dan Bentar yang keduanya mirip seperti gapura di Bali. Gapura jenis Kori Agung membentuk suatu gunungan pada bagian atasnya, sementara bentar membentuk laiknya gunungan terbelah. Kedua jenis seperti ini juga terdapat di kompleks Masjid Mantingan atau Masjid Ratu Kalinyamat di pesisir utara Jawa Tengah.

Yang luar biasa dari gerbang ini adalah adanya sepasang gerbang purba berbentuk Kori Agung yang justru terdapat di dalam ruang shalat masjid. Konon, itulah sisa gerbang Masjid Kudus yang asli yang disebut "Lawang Kembar".






Gerbang Kori Agung – Bentuk gerbang jelas mengingatkan gerbang-gerbang bangunan Hindu. Perhatikan sekuensialnya yang berkelok karena terdapat aling-aling yang juga biasa terdapat pada kompleks bangunan Hindu. (Fotografer: Indra Yudha)




Keunikan lain adalah beduk dan kentongan pada pendopo di bagian kepala menara. Peletakan benda-benda seperti itu merupakan tata letak yang tidak lazim di masjid-masjid Jawa tradisional. Karena alat-alat yang biasa ditabuh sebelum dikumandangkan azan itu hampir selalu diletakkan di pendopo masjid sebelah timur. Wajar jika hal ini memperkuat kaitan dengan menara kul-kul Bali karena pada menara kul-kul Bali biasanya tergantung kentongan di bagian kepala menara tepat di bawah atap.

Satu lagi yang tak kalah menarik adalah tempat wudu kuno dari susunan bata merah, dengan lubang pancuran berbentuk kepala arca berjumlah delapan buah. Jumlah ini konon dikaitkan dengan falsafah Buddha, yaitu Asta Sanghika Marga (delapan jalan utama) yang terdiri dari pengetahuan, keputusan, perbuatan, cara hidup, daya, usaha, meditasi, dan komplementasi yang benar.






Pancuran Wudlu Kuno - Lubang pancuran kuno yang berbentuk kepala arca seperti ini terdapat pada tempat wudlu. Bentuk arcanya seringkali dikaitkan dengan kepala sapi yang diberi nama Kerbau Gumarang, karena binatang sapi dulunya diagungkan oleh orang-orang Hindu di Kudus. (Fotografer: Indra Yudha)




Sedangkan bentuk arca seringkali dikaitkan dengan kepala sapi bernama Kerbau Gumarang karena binatang sapi dulunya diagungkan orang Hindu di Kudus. Bahkan hingga sekarang meski mereka telah menjadi Muslim, masih memiliki tradisi menolak penyembelihan sapi yang konon warisan dari sunan kharismatik pencipta gending Mijil dan Maskumambang itu.

****

published @kompas minggu 15 Juni 2003

Monday, May 15, 2006

MENELUSURI MASJID-MASJID DI PRIANGAN TEMPO DOELOE

oleh Bambang Setia Budi


Tempo Doeloe selalu penting untuk ditelusuri kembali karena menjadi referensi bagi sejarah, pendidikan, penelitian, dan kebudayaan. Tempo doeloe juga selalu menarik karena memberi kenangan sejarah tersendiri bagi setiap warga yang pernah mengalami situasi, kondisi maupun peristiwa pada waktu itu.

Seiring dengan itu, penelusuran artefak budaya khususnya seni bangunan/arsitektur di masa lalu dapat memperluas wawasan tentang karakter bentuk dan elemen-elemen bangunan di masa lalu lengkap dengan pengertiannya masing-masing. Dari sini kita bisa mencermati khususnya unsur-unsur lokal yang menjadi ciri dan identitas suatu daerah/wilayah sebagai ungkapan-ungkapan lokalitas.

Perlunya mengenali lokalitas di masa kini nampaknya menjadi semakin penting dan diperlukan di tengah serbuan peradaban global yang menyeragamkan segala sisi dan bentuk kehidupan. Ini dapat menjadi pijakan bagi setiap pengambilan keputusan yang bisa berpengaruh untuk modernitas masa kini dan yang akan datang khususnya di Tatar Priangan.

Berikut ini akan ditelusuri beberapa arsitektur masjid-masjid di Priangan tempo doeloe khususnya pada tahun 1875 baik sepanjang Groote Postweg di wilayah Priangan Barat dan Tengah seperti Cianjur, Bandung, dan Sumedang, hingga Priangan Timur seperti Garut dan Tasikmalaya.

Jika diamati, nampaknya masjid-masjid di Tatar Priangan tempo doeloe memiliki karakteristik yang khas yang membedakannya dengan daerah-daerah lain. Memang sepintas terdapat banyak kemiripan jika dibandingkan dengan masjid-masjid di sepanjang Pulau Jawa, tetapi jika diteliti lebih jauh akan banyak pula ditemukan perbedaan-perbedaan.

Satu karakteristik yang menarik dari atap masjid-masjid di Priangan tempoe doeloe adalah terlihatnya perbedaan pada proporsi atap dibanding atap-atap masjid tradisional yang lain di Pulau Jawa pada umumnya. Pada atap masjid-masjid di Priangan tempo doeloe terlihat selalu nyungcung dengan sudut kemiringan yang sangat tajam sementara bagian bawah tiap tumpukan atap berbelok ke arah horisontal yang pendek dan berubah secara cepat atau seperti mendadak.

Hal ini berbeda dengan atap-atap tumpang yang banyak berkembang di Jawa Tengah baik pesisir maupun pedalaman di mana atap tumpangnya lebih berbentuk piramid/limasan seperti terdapat pada Masjid Agung Demak (1479), Masjid Agung Surakarta (1757), atau Masjid Agung Yogyakarta (1773).

Bentuk `nyungcung` tersebut mengingatkan kepada kita tentang topi karnaval saat masa kecil mengikuti peringatan tujuh belas Agustusan, atau seperti `daun pincuk` untuk wadah makanan-makanan kecil seperti kacang. Unik, lucu, dan menarik, memang. Nampaknya bentuk dan ekspresi atap masjid seperti ini merupakan salah satu ciri dan karakteristik yang khas di alam Pasundan khususnya di abad ke-19.

Di Sepanjang Groote Postweg: Cianjur-Bandung-Sumedang

Sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijabat oleh Herman Willem Daendels, terjadilah perubahan besar-besaran di dalam pola tata ruang fisik pulau Jawa khususnya di wilayah Priangan. Terbangunnya jalan raya yang dikenal sebagai Groote Postweg (jalan raya pos) dari Anyer (pelabuhan kecil di Selat Sunda) hingga Panarukan (ujung Timur Pulau Jawa) sepanjang kurang lebih 1000 kilometer dari tahun 1808-1810 telah menandai dimulainya perubahan besar-besaran tersebut.

Menurut sejarawan Perancis Denys Lombard, alasan Daendels membuat jalan raksasa ini awalnya untuk kepentingan militer dan ekonomi semata. Karena di satu sisi, tidak mungkin menyiapkan pertahanan pantai utara Pulau Jawa secara efektif, karena musuh mungkin mendarat di mana saja, dan mustahil menyongsongnya di sana. Di sisi lain, budidaya kopi tak mungkin berkembang selama biaya angkutan yang sangat besar tak dapat ditekan.

Masih menurut catatan tersebut, dampak `jalan raya` yang juga dikenal sebagai Jalan Raya Daendels itu nampaknya jauh melampaui perkiraan pemrakarsanya. Jalan itu memang tetap tidak memungkinkannya untuk dapat menahan pendaratan Inggris, tetapi mengubah secara besar-besaran kondisi ekonomi dan kehidupan sosial politik di Jawa, termasuk perkembangan pusat-pusat kota di pulau Jawa. Jalan itu juga telah mempersatukan tanah Pasundan dengan tanah Jawa melalui penciptaan sebuah kawasan ekonomi tunggal (Lombard, 2000:139).

Karya tersebut - yang oleh musuh-musuh Daendels sering disamakan dengan pekerjaan `piramida Mesir` - menjadi salah satu infrastruktur terpenting bagi perkembangan kota-kota di Jawa. Kota-kota yang dilalui jalur ini mulai berubah sebagai titik-titik simpul jaringan transportasi dan komunikasi yang sangat efektif untuk kepentingan militer dan ekonomi di Pulau Jawa.

Di Tatar Priangan, pertumbuhan beberapa kota-kotanya jelas banyak juga dipengaruhi oleh terbentuknya Groote Postweg tersebut. Di sepanjang jalur ini tumbuhlah pusat-pusat kota dan pemerintahan di mana dibangun pusat pemerintahan lokal, rumah pejabat tinggi, alun-alun, dan masjid agung. Dari sini jelas, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kotanya, masjid-masjid agung di Tatar Priangan mulailah dibangun sebagai salah satu sarana pelengkap keberadaan pusat pemerintahan lokal. Nampaknya pembangunan struktur pola tata ruang kota-kota di Priangan ini tetap mempertahankan sebagaimana pola kota-kota lama di Jawa.

Seluruh masjid agung di pulau Jawa, hampir selalu terletak di pusat pemerintahan seperti kasultanan, kraton maupun kabupaten-kabupaten yang dibangun sejak zaman Kasultanan Demak, Mataram Islam, atau hingga Kolonial Belanda. Sedangkan di Tatar Priangan khususnya sepanjang Groote Postweg Cianjur, Bandung, dan Sumedang baru dibangun pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga kabupaten ini dibentuk dalam era Daendels disebut sebagai wilayah Prefectuur Preanger-Regenschappen yang dilalui Groote Postweg. Menarik jika kita telusuri masjid-masjid agung di Priangan tempo doeloe sepanjang Groote Postweg khususnya dari Cianjur, Bandung, dan Sumedang ini.

Dari Cianjur tempo doeloe, kita akan menemui sebuah masjid di sisi Barat alun-alun kota. Meski tata letak masjid dengan alun-alun masih tetap dipertahankan sampai sekarang, namun bentuk dan wajah masjid saat ini sudah jauh meninggalkan aslinya yang bisa dilihat pada foto Masjid Agung Cianjur di tahun 1875.



Foto Masjid Agung Cianjur pada tahun 1875. Proporsi atap dan bangunan masjid dirancang dengan sangat baik sehingga nampak sangat anggun dan bersahaja dilihat dari arah alun-alun (Sumber: masjid2000.org, KITLV).


Meskipun perkembangan Cianjur sudah diresmikan menjadi sebuah kabupaten setelah ditandai dengan pengakuan VOC terhadap keberadaan Aria Wira Tanu II sebagai Regent (Bupati) Cianjur pada tahun 1691, Masjid Agung Cianjur dan alun-alunnya seperti itu baru dibangun sekitar awal abad ke-19, segera setelah Jalan Raya Pos dibangun.

Menurut cerita dari W. R. van Hoevel yang pernah singgah di Cianjur pada tahun 1847, disebutkan bahwa masjid sudah terletak di sebelah barat alun-alun. Alun-alun sendiri merupakan halaman segi empat yang ditanami pohon beringin, dengan gedung kabupaten di sebelah selatannya dan juga terdapat kediaman residen serta penjara. Cerita ini menunjukkan bahwa Masjid Agung Cianjur jelas telah berdiri sebelum tahun 1847.

Dari gambar Masjid Agung Cianjur tahun 1875 itu dapat kita amati bahwa masjid beratap tumpang tiga dengan bentuk menjulang tinggi ke atas (nyungcung), sementara bagian bawah tiap tumpukan terlihat belok ke arah lebih mendatar karena sudut kemiringannya lebih rendah. Tiap bagian atap terlihat adanya bukaan sebagai pemisah antar tumpukan atap yang terbuka. Dari sini, bukaan tersebut juga jelas menjadi peralihan yang menarik antara masing-masing bentuk atap tumpangnya.

Bukaan itu juga dimaksudkan untuk ventilasi udara dan sekaligus cahaya yang memberi kenyamanan serta penerangan alami ruang dalam. Solusi ini nampaknya sangat tepat jika dikaitkan dengan pertimbangan kondisi alam setempat yang tropis panas dan lembab.

Di sisi lain proporsi atap dan juga bangunannya terlihat dirancang dengan sangat baik, sehingga tinggi semampai, anggun, berwibawa dan enak dipandang dari arah alun-alun. Perhatikan pula adanya kolom dua berjajar di bagian depan masjid, nampaknya pengaruh seni bangunan kolonial Belanda sudah terlihat dalam wujud rancangan fisiknya. Kolom berderet di bagian depan masjid seperti itu jarang terdapat pada masjid-masjid tradisional di Jawa pada umumnya.

Setelah Cianjur, bila kita menyusuri Groote Postweg ke arah timur, kita akan menjumpai Kota Bandung tempo doeloe dengan pusat pemerintahan lokal yang baru dipindahkan sesaat setelah pembangunan Jalan Raya Pos tersebut. Pusat pemerintahan lokal ini ditandai dengan adanya alun-alun dan masjid agung, Bale Bandung, rumah pejabat tinggi, dan kemudian penjara kolonial. Jalan Raya Pos ini sekarang telah diganti nama menjadi Jalan Asia Afrika.

Pusat pemerintahan tradisional Bandung tempoe doeloe sebelumnya tidak dilalui Jalan Raya Pos, kemudian terpaksa berpindah agar mendekati dan dilalui jalan raya tersebut. Ini menunjukkan Kota Bandung lahir dan berkembang jelas tidak melalui kekuatan lokal pribumi tetapi banyak dipengaruhi oleh kekuatan politik kolonial Hindia-Belanda. Berpindahnya pusat pemerintahan tradisional Kota Bandung yang tadinya berlokasi di Dayeuh Kolot (kurang lebih 12 km di selatan Jalur Groote Postweg) hingga mendekati dan dilalui jalan raya, merupakan instruksi pemerintah Kolonial Belanda yang menandai kuatnya pengaruh tersebut.

Akhirnya perkembangan Kabupaten Bandung (istilah saat itu) baru dimulai pada awal abad ke-19 (tahun 1810) yang diawali pembangunan pusat pemerintahan lokal, rumah tinggal pejabat tinggi, alun-alun dan masjid agung yang dilalui jalan raya tersebut. Pembangunan pusat pemerintahan lokal ini berlangsung hingga memasuki tahun 1820.



Foto Masjid Agung Bandung pada tahun 1875. Terkenal dengan sebutan Bale Nyungcung hingga pertengahan abad ke-20 (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Dari gambar itu dengan jelas dapat kita amati bahwa Masjid Agung Bandung di tahun 1875 beratap tumpang tiga dengan bentuk atap menjulang tinggi ke atas (nyungcung), sementara bagian bawah tiap tumpukan atap terlihat belok ke arah lebih mendatar karena sudut kemiringan atapnya lebih rendah. Bentuk seperti ini sangat dikenal di dalam benak warga Kota Bandung tempo doeloe dengan istilah Bale Nyungcung.

Bentuk dan ekspresi atap masjid seperti itu sebenarnya tidak hanya terjadi pada tahun 1875 saja, tetapi dari sejak 1850-an atau bahkan sebelumnya yang terlihat dari litho pelukis Inggris W. Spreat yang kemudian tetap dipertahankan hingga sebelum 1955 meski dengan ekspresi dan proporsi yang sedikit berbeda-beda (Lihat lengkapnya dalam tulisan saya berjudul `Tinjauan Arsitektur Masjid Agung Bandung dari Masa ke Masa`, H.U. Pikiran Rakyat, Rabu 3 Januari 2001).

Tiap bagian atap juga memperlihatkan adanya bukaan sebagai pemisah antar tumpukan atap yang terbuka, dan sekaligus menjadi peralihan yang menarik antara masing-masing bentuk atap tumpangnya. Dan pada bagian depan dan samping kiri dan kanan masjid sangat jelas memperlihatkan deretan kolom yang merupakan pengaruh seni bangunan `neo classic` Eropa.

Selanjutnya, jika terus ditelusuri Groote Postweg dari Bandung ke arah timur, meski harus menyusuri jalan yang berat dan berliku-liku maka akan dijumpai lagi sebuah Kabupaten Sumedang. Konon pembuatan Groote Postweg ke arah wilayah ini memang paling berat (selain kawasan Puncak) yang banyak memakan korban penduduk pribumi. Sehingga menurut catatan sejarah sempat menimbulkan penentangan yang dipimpin oleh Bupati Sumedang pada saat itu Pangeran Kornel.



Foto Masjid Agung Sumedang pada tahun 1875. Dengan latar pegunungan, tampaknya atap `nyungcung` dengan bagian bawah tiap tumpukan atap bersudut lebih datar seperti ini merupakan ciri khas pada masjid-masjid Priangan tempo doeloe tahun 1875 (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Dari segi bentuk dan ekspresi atap serta bangunan Masjid Agung Sumedang tahun 1875 ini jelas menunjukkan ciri-ciri atau karakteristik yang sama dengan di Masjid Agung Cianjur tahun 1875 maupun di Masjid Agung Bandung tahun 1875, yakni atap tajuk tumpang tiga `nyungcung` dengan bagian bawah masing-masing tumpukan bersudut lebih datar. Kesamaan-kesamaan lainnya juga dapat dilihat pada bukaan/jendela antar tiap tumpukan atap sebagai ventilasi udara dan cahaya, dan deretan tiang di depan atau samping bangunan masjid. Begitu pula secara tata letak, masjid memiliki kesamaan yakni di sebelah barat alun-alun kabupaten.

Di Priangan Timur: Dari Garut ke Tasikmalaya

Jika di atas telah kita telusuri masjid-masjid Priangan tempo doeloe (Barat dan Tengah) sepanjang Groote Postweg, di sini akan kita lihat dua masjid lagi yang tidak berada di sepanjang jalur tersebut, tetapi di wilayah Priangan Timur yakni Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Dari masanya, dua masjid di dua kabupaten ini berdiri hampir bersamaan dengan berdirinya masjid-masjid di sepanjang Jalan Raya Pos yakni di awal abad ke-19.

Di Garut tempo doeloe kita akan menemukan masjid agung yang telah dibangun pada awal abad ke-19. Pembangunan Masjid Agung Garut ini sangat erat kaitannya dengan pembentukan Kabupaten Garut. Menurut catatan sejarah, pada tanggal 15 September 1813 diletakkanlah batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, yaitu tempat tinggal dan tempat kerja bupati, pendopo, kantor asisten residen, masjid, penjara dan alun-alun. Di depan pendopo terdapat babancong, tempat untuk berpidato bupati atau para pejabat pemerintah lainnya di depan publik. Setelah tempat-tempat ini selesai dibangun, ibukota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar 1821.

Masjid Agung Garut juga terletak di sebelah barat alun-alun kota. Masjid agung menjadi masjid utama di kabupaten tersebut dan segala kegiatan keagamaan berpusat di sana yang dipimpin oleh penghulu. Tempo doeloe antara masjid dan alun-alun dipisahkan dengan jalan alun-alun Barat. Sekarang jalan ini dihilangkan sehingga masjid menyatu dengan alun-alun.

Masjid Agung Garut di tahun 1875 beratap tajuk tumpang tiga (nyungcung), dengan bagian bawah tiap tumpukan atap bersudut lebih datar. Ini sangat mirip dengan masjid-masjid di Priangan sepanjang Groote Postweg pada waktu yang sama di atas. Memang terlihat sedikit perbedaan, yakni pada proporsi atapnya yang terlihat lebih besar atau tinggi. Kesamaan lainnya juga dapat diamati pada deretan tiang-tiang/kolom di depan atau sebelah kiri dan kanan masjid.



Foto Masjid Agung Garut pada tahun 1875. Memiliki kesamaan bentuk dan ekspresi atap dengan masjid-masjid di Priangan tempo doeloe lainnya meski sedikit memperlihatkan perbedaan proporsi (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Setelah Garut, di Priangan Timur ini akan kita temui masjid agung yang dibangun pada awal abad ke-19 dan juga menandai tumbuh dan berkembangnya Kabupaten Tasikmalaya, yakni Masjid Agung Manonjaya. Masjid menjadi bukti sejarah adanya kabupaten Sukapura yang berarti pula bukti sejarah perkembangan Tasikmalaya sekarang. Masjid dari sejak dulunya telah dipakai sebagai tetenger untuk mengembangkan tata kota Harjawinangun. R. Memed Sastra Hadiprawira dalam Volk Almanak Soenda Parahyangan tanggal 12 November 1931 menyebutkan bahwa sewaktu pemindahan ibukota ke Harjawinangun, sebelumnya memang sudah ada masjid kecil dan bahkan oleh Raden Tumenggung Danuningrat ketika merencanakan tata ruang kota Harjawinangun berpedoman pada masjid yang sudah ada tersebut. Dalam konteks ini, keberadaan masjid jelas merupakan satu kesatuan dengan pembangunan tata ruang kabupaten Sukapura pada waktu itu.

Pada tahun 1837, Raden Tumenggung Danuningrat yang menggantikan Raden Demang Anggadipa II sebagai Bupati Sukapura memperbesar masjid dan mengembangkan alun-alun. Masjid dibangun dengan atap tumpang yang bersusun tiga yang pada bagian atas/ujung atap diberi kemuncak (mustaka), dan empat buah tiang utama sebagai penyangga atapnya.

Masjid Agung Manonjaya di tahun 1875 tetap beratap tajuk tumpang tiga (nyungcung) dengan bagian bawah tiap tumpukan memiliki sudut yang lebih datar. Dan antara tumpukan atap juga terdapat bukaan sebagai ventilasi udara dan cahaya dan sekaligus peralihan antara tumpukan atap. Yang terakhir, kesamaan masih juga dimiliki pada terdapatnya deretan tiang/kolom baik di depan, atau samping kanan dan kiri masjid. Nampaknya inilah ciri-ciri umum masjid-masjid di wilayah Priangan tempo doeloe tahun 1875.



Foto Masjid Agung Manonjaya–Tasikmalaya pada tahun 1875. Perhatikan pagar bermotif sisik ikan yang pernah populer dan menjadi pagar-pagar khas di penjuru kota/kabupaten Priangan tempo doeloe (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Sebagai catatan terakhir dari penelusuran, adalah terdapatnya kesamaan penggunaan pagar bermotif sisik ikan, terutama dan yang paling jelas adalah pada Masjid Agung Manonjaya. Nampaknya pagar dengan motif seperti itu sangat populer di wilayah Priangan tempoe doeloe di abad ke-19. Pagar bermotif seperti inilah yang kemudian diambil oleh arsitek terkenal Belanda Henry Maclaine Pont sebagai titik tolak merencanakan pagar-pagar pusat-pusat kota/kabupaten di Priangan tempo doeloe termasuk masjid agung, Bale Bandung dan sekitarnya di tahun 1930-an.

Henry Maclaine Pont memang salah seorang arsitek Belanda (selain Schoemaker dan Karsten) yang dikenal sangat menghargai potensi dan budaya lokal. Mereka (Pont, Schoemaker, dan Karsten) berusaha keras menyatukan pandangan arsitektur yang memperhatikan potensi budaya setempat/lokal, dengan perhatiannya yang sangat teliti terhadap detail-detail karya rancang bangunnya. Nampaknya ini merupakan satu pelajaran berharga yang penting khususnya bagi para arsitek/perancang bangunan maupun para pengambil keputusan yang akan berdampak bagi seluruh warga masyarakat secara umum dalam membangun modernitas kita saat ini.

****

Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB

published @ Koran Pikiran Rakyat, December 24, 2001